Sari Kurma Aljazira

cari penghasilan tambahan

Sabtu, 08 Agustus 2009

BUDAYA JAWA

Kentrung Blora Riwayatmu Kini

Oleh: Totok Yasmiran


A. Pendahuluan

Tulisan ini muncul berawal dari rasa prihatin penulis terhadap seni tradisi kentrung di Blora. Mengapa demikian? Laksana menghitung hari, akibat dari pengaruh budaya global, perlahan namun pasti, seni kentrung akan tergilas oleh roda zaman. Susilo Bayu Irawan, 2005 dalam penelitiannya yang berjudul “Persepsi Masyarakat Desa Sendanggayam, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Terhadap Pertunjukan Seni Kentrung.” menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap pertunjukan kesenian kentrung kurang baik, karena masyarakat beranggapan bahwa pertunjukan kentrung membawa sial, meskipun hasil penelitian tentang bentuk pertunjukan kesenian kentrung menunjukkan hasil yang baik dalam arti pertunjukan itu sendiri, karena irama enak dinikmati dan syair jelas ditangkap dan di mengerti dan berisi ajakan berbuat kebaikan.

Hampir senada dengan tulisan ini, Kompas (18 April 2008) juga pernah memuat artikel “Nasib Seni Kentrung Blora Hidup Segan Mati Tak Mau”. Selanjutnya, apakah seni kentrung itu? Bagaimanakah kentrung di Blora? Apakah fungsi pertunjukan ini? Masih adakah harapan untuk dilestarikan atau bahkan dikembangkan? Secara sederhana, tulisan ini barangkali dapat memberikan sekilas gambaran dan dapat didiskusikan, yang akhirnya membuahkan hasil dalam rangka upaya pelestarian, atau paling tidak mengulur keberadaan seni kentrung, yang sedang diambang kepunahan.

Kentrung merupakan salah satu pertunjukan seni tutur atau lisan berupa cerita-cerita yang mengandung petuah hidup dan moral. Pementasannya diiringi dengan alat musik terbang (rebana). Seni ini tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Tuban, terutama di daerah Purwodadi, Blora dan Tuban. Dinamakan kentrung, karena memang suara alat musiknya berbunyi “trung, trung, trung”. Di Kabupaten Blora kentrung sudah dikenal sejak tahun 1915.

B. Deskripsi Kentrung Blora.

Uraian singkat mengenai kentrung Blora, Hutomo dalam Jawa (Volume I, 1997: 10-11) memaparkan bahwa menurut sejarahnya, seni rakyat yang bernama kentrung, yakni seni tutur yang diiringi instrumen musik sederhana yang berupa rebana (terbang), pernah mempunyai penutur atau dhalang bernama Reso Kentrung, Ngorono, dan lain-lain. Menu rut mereka, seni kentrung sudah ada sejak tahun 1915. Pada tahun 1994 kentrung Blora hanya memiliki seorang dhalang bernama Sutrisna. Ia tinggal di desa Sendanggayam, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.

Menurut riwayatnya, Sutrisna, sebenarnya bukan penduduk asli Blora. Ia lahir di Kebonagung Mintren, Kecamatan Dhempet, Kabupaten Demak. Katanya, ia menjadi dhalang kentrung sejak 1956. Ia belajar ngentrung pada dhalang Sumalana dari desa Nggodhong, Kecamatan Nggodhong Kabupaten Grobogan. Salah seorang temannya bernama Rajikan.

Sebagai dalang kentrung, Sutrisna mempunyai beberapa cerita, antara lain: Laire Nabi Musa, Laire Nabi Yusup, Laire Nabi Ibrahim, Laire Nabi Isa, Joharmanik, Ngadege Mesjid Demak, Ki Ageng Mangir, Laire Jaka Tarub, Arya Penangsang, Damarwulan, Empu Supa, Laire Jaka Tingkir, Laire Raden Patah, Ajisaka, Anglingdarma, dan lain-lain.

Beberapa cerita tersebut sudah pernah direkam dan disalin ke tulisan Latin oleh Suripan Sadi Hutomo. Demikian pula parikan dhalang Sutrisna, juga sudah dibukukannya berjudul “Pantun Kentrung” (Yayasan Obor, 1993). Tulisannya yang lain berupa artikel yang mengulas tentang kentrung banyak sekali. Adapun yang berupa disertasi telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dengan judul Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban (1993)

C. Struktur Cerita Kentrung

Unsur-unsur cerita yang membangun cerita terdiri dari unsur dalaman (struktur batin) dan unsur-unsur luaran (struktur non batin). Kedua unsur itu saling berkorespondensi sesamanya dalam proses kreatif dalang kentrung.
Unsur-unsur dalaman cerita terdiri dari batang tubuh cerita yang mengandung pendahuluan cerita dan penutup cerita. Dalang Sutrisna dalam memainkan kentrung tidak mengenal pendahuluan ceriya yang berdiri sendiri, kalaupun ada sipatnya semu yang ditempelkan pada babak awal.

Demikian bunyinya:

Uluk salam, milah, ya Mas,
Bathari imam pelaku,
Khalifah Allah sangate,
Ya Rakhimin bumining Allah.

Ya Rakhimin bumi kawula,
Nek kawula kawulaning Allah,
Kawula saderma kandha,
Kawula saderma cinarita.

Carita ujaring dongeng,
Panduke cinatur kawula,
Ya kopating serumput,
Sakupenging bumi lumahing bawana.

Artinya, “Wahai pendengar, Salamku terimalah, Salam di jalan Allah, Kan mendapat kurnia Allah” dan “Kan mendapat kurnia Allah, Karena saya hamba Allah, Saya hanya sekedar berkisah, Saya hanya sekedar berkisah”, serta “Kata yang empunya carita, Seperti yang akan saya kisahkan, Yang telah beredar kemana-mana, Di seluruh permukaan benua.”

Kemudian masuk ke dalam cerita:
Amiwiti andongengena,
Nek ujare dedongengan kawula,
Jejerna sajroning negara,
Kraton pundi sing diaturna.

Jejerake, Kakangmas,
Sakjroning kraton tanah pulo Jawa,
Ya Kraton Ngelirbaya,
Nek Kraton Ngelirbaya.

Artinya, “Mulailah saya kisahkan, Kisah dongeng saya tawarkan, Adalah sebuah kerajaan, Dengan istana kan diceritakan” dan “Inilah ceritanya, wahai pendengar, Dalam istana di tanah Jawa, Istana kerajaan Negara Ngelirbaya.”

Pada setiap penyampaian cerita, lakon apa saja, pendahuluan semu ini dilakukan. Untuk memberikan variasi agar tak menjemukan, dalang melantunkan parikan di awal atau akhir babap, atau bahkan jika dalang lelah, ia bisa melantunkan parikan untuk memberi kode istirahat. Umpamanya sebagai berikut:

Pasar Blora, Mas, pasare gedhe,
Nek sesuk akeh sing bakul tempe,
Mangke malih didugekake,
Permisi leren, Mas, badhe ngombe

Artinya, “Pasar Blora besar sekali, Banyak penjual tempe besok pagi, Nanti kita sambung lagi,, berhenti sejenak minum kopi.”

Parikan juga diselipkan dalam pertengahan babak untuk mengatisipasi kebosanan pendengar. Misalnya sebagai berikut:

Ngombe wedang kopi, Mas, cangkire tutupan,
Wis kadhung adhem kok ora melu ngombe
Duwe karep durung bisa keturutan, Mas,
Wis kadhung gelem kowe kok nanonane.

Artinya, “minum kopi, Mas, cangkirnya bertutup, Sudah dingin tak ikut minum, Punya keinginan belum kesampaian, Waktu kesampaian ia sudah hamil.”

Kata nanonane tersebut diucapkan untuk menghindari kata lekoh (kotor). Mungkin kurang baik kalau diucapkan “kok wis meteng gedhe” . Tidak menutup kemungkinan penontonnya ada yang masih anak-anak. Jadi diharapkan tidak saru. Meskipun demikian, penonton dewasa sudah mengerti jawabannya. Biasanya penonton setelah mendengar perkataan yang disamarkan itu tersenyum atau tertawa.

Pada bagian penutup juga diberikan lantunan parikan:

Kembang pacar, Mas, kembang pacar,
Nek pantese disebar neng tengah latar,
Nek dongenge pun dugi pajar,
Kula nyuwun permisi bubar

Artinya. “Bunga pacar, wahai, bunga pacar, Pantasnya disebar di tengah halaman, Cerita ini telah diujung fajar, Saya pamit berhenti bercerita.”

Dalam penutup cerita sering disebutkan nama- nama nabi sebagai penjaga kiblat. Hal ini menunjukkan sastra kentrung pada umumnya mengandung warna Islam. Ini menunjukkan adanya sistem klasifikasi simbolis orang Jawa. Sebelum Islam masuk di Jawa sistem klasifikasi simbolis orang Jawa itu ditempati oleh tokoh Sri Sadana.

Tafsiran mistik terhadap aksara Arab dan Jawa juga dilakukan, terutama pada saat menampilkan tokoh yang sedang memberi wejangan. Tafsiran yang dipandang dari sudut pandang Kejawen ini khususnya mengenai sifat rongpuluh (sifat duapuluh). Berikut uraianya:

1. HA, Hong wilaheng Hananingsun, artinya, Aku (Tuhan) itu ada, dia adalah Aku.
2. NA, Nata dadi carakaningsun, artinya, mengatur menjadi utusanKu.
3. CA, Carane lambang rasa, artinya, cara menghayati perasaan.
4. RA, Rasa lan karep kudu saeka, artinya, rasa dan kehendak harap sejalan.
5. KA, Karep kang nedya utama, artinya, kehendak utama.
6. DA, Dadia tataran, artinya, menjadikan ujian.
7. TA, Tataran murih sawiji, artinya, ujian yang menyatu.
8. SA, Sawiji kuwayanganingsun, artinya, menyatu dengan bayanganKu.
9. WA, Wayangan ingsun katon malela, artinya, bayanganKu tampak jelas.
10. LA, Langgeng murih sapadha-padha, artinya, abadi untuk sesama manusia.
11. PA,Padhame rasa kadhadha , artinya, seperti halnya rasa di dada.
12. DHA, Dhedhasar karya prasaja, artinya, berdasarkan kesedernahaan karya.
13. JA, Jaya sajagad raya, artinya, jaya di seluruh dunia.
14. YA, Yasa karya murih wilujeng ing ngalam donya, artinya, menciptakan sesuatu agar selamat di dunia.
15. NYA, Nyata eling lan sasama-sama, artinya, benar-benar teringat padha perbuatan baik serta mempunya rasa perikemanusiaan.
16. MA, Maratah sajagad raya utawa sajagad pribadi, artinya, tersebar merata di makro dan mikrokosmos.
17. GA, Gagaran mung Hyang Murba, artinya, yang menjadi pegangan hanyalah Tuhan semata.
18. BA, Bathara kang wajib amisesa, artinya, Tuhan berkewajiban memperhatikan semuanya.
19. THA, Tharithisan lali lamun ing ngrasa (Aja lali marang Pangeranmu), artinya, jangan lupa pada Tuhanmu.
20. NGA, Ngawuningani samobah-mosike, sabudi pakartine, jalma manungsa, artinya, Tuhan senantiasa akan memperhatikan segala perbuatan manusia.

Kecuali itu ada pemakaian ungkapan bersifat mistis yang menarik. Misalnya “ adus banyu perwita suci tetulis perkara sing manjing sanubari” makna tersiratnya kurang-lebih: mengekang atau menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela (Selengkapnya, lihat Hutomo: Sunan Bonang Kembar Cerita Kentrung Tradisi Blora).

D. Fungsi Kentrung bagi Masyarakat Blora
Seni Kentrung tidak jauh berbeda dengan seni tradisional lainnya mengenai fungsinya di masyarakat. Kecuali sebagai hiburan, kentrung juga segabai sarana upacara ngruwat , perhelatan pengantin, khitanan, bersih desa, atau untuk memenuhi nadzar. Misalnya ada orang yang anaknya sakit, ia punya nadzar, jika anaknya sembuh akan ditanggapkan kentrung. Akan tetapi fungsi tersebut semakin berkurang. Bahkan sekarang hanya saat-saat tertentu kentrung dipertunjukkan, misalnya jika ada tamu kehormatan di Kabupaten Blora, biasanya disuguhkan Seni Kentrung ini.

E. Regenerasi Kentrung Blora
Setelah Sutrisno meninggal pada 2003, Yanuri melanjutkan seni kentrung Blora yang dirintis ayahnya sejak 1958. Ia juga mewarisi tiga rebana yang konon sudah berusia hampir 100 tahun.
Yanuri menuturkan, beberapa hari setelah kematian Sutrisno, tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Padahal, sebelum meninggal ayahnya berpesan agar Yanuri berlatih dan meneruskan seni kentrung.

Tak lama kemudian, sakit di tangannya itu sembuh. Berangkat dari pengalaman itulah Yanuri menyadari bahwa tangan itu sangat berharga.
”Tangan itu membawa rezeki karena dengan tangan saya dapat bermain kentrung. Rezeki itu tidak saya terima sendiri, tetapi juga dirasakan keluarga dan orang lain,” kata Yanuri yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani.
Dengan menjadi dalang kentrung, Yanuri dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Dahulu, ia kerap ditanggap dalam acara khitanan, kaulan, pernikahan, dan pentas seni budaya di sejumlah kota, yaitu Solo, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Sayang sekali, kesenian yang kaya dengan nilai-nilai moral kehidupan itu terkatung-katung. Ibarat mati tak segan hidup pun tak mampu. Kesenian itu terancam kehilangan generasi penerus dan peminat.
Jumlah dalang kentrung juga terus berkurang. Dari sekitar empat dalang dan kelompok kentrung, kini tinggal satu yang tersisa, yaitu Yanuri Sutrisno.
Kepala Seksi Nilai Budaya dan Kesenian Daerah Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo S.Kar mengatakan, hidup-mati kesenian tergantung pelaku dan masyarakat. Di kalangan pelaku kesenian, regenerasi kurang diperhatikan karena masyarakat tidak lagi berminat terhadap kesenian itu.
”Mereka lebih memilih mata pencarian yang menghasilkan uang yang dapat memenuhi kehidupan sehari-hari ketimbang menekuni kesenian yang menurut mereka tidak menghasilkan apa-apa lagi,” kata dia.
Menurut Suntoyo, kondisi itu tidak terlepas oleh pengaruh budaya modern. Masyarakat lebih tertarik pada pertunjukan-pertunjukan yang lebih populer dan ringkas. Mereka enggan menikmati pertunjukan yang cenderung monoton dan makan waktu lama.
Meski begitu, lanjut Suntoyo, pemerintah tetap berupaya memperkenalkan kesenian kentrung hingga luar Blora. Paling tidak kesenian itu ditampilkan dalam pergelaran kesenian tahunan atau ketika ada tamu kehormatan yang berkunjung ke Blora.
”Yang paling menyulitkan adalah regenerasi dalang kentrung. Saat ini Yanuri sedang menyiapkan keponakannya, Susilo Hari Kusnoto (19), sebagai penggantinya nanti,” kata dia.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Mahameru Gatot Pranoto mengatakan, Yayasan Mahameru berupaya melestarikan kesenian kentrung dengan mempromosikan kembali di seluruh Blora. Promosi itu bisa berupa pentas langsung maupun melalui radio.
Saat ini yayasan yang menggeluti kesenian dan kebudayaan itu sedang mendokumentasikan kesenian kentrung. Pendokumentasian itu berupa sejarah, lakon-lakon yang ditampilkan, dan instrumen.
”Di era sekarang dalang kentrung perlu menyampaikan pesan-pesan moral secara lebih menggelitik, misalnya mengkritisi persoalan politik. Sedangkan, masyarakat diharapkan peduli dan mempunyai hati untuk mencintai kesenian tradisional,” kata Gatot (Kompas, 18 April 2010).
F. Saran-saran
Seni Kentrung perlu kiranya untuk dilestarikan, karena di dalamnya terdapat nilai sastra, filosofi, petuah dan sekaligus hiburan. Manakala diupayakan adanya apresiasi kentrung masuk sekolah, yang melibatkan ahli sastra maupun dalang kentrung itu sendiri, mungkin akan membuka cakrawala peserta didik dan mengenalkan kembali, bahwa ia sebenarnya memiliki kesenian khas itu.
Cara pengemasan cerita perlu diupayakan agar tidak monoton. Bahkan mungkin juga diadakan modifikasi parikan yang memuat unsur-unsur pendidikan anak. Akan tetapi, untuk pergelaran yang berfungsi ritual, pementasan tetap mempertahankan kekhasannya, sehingga tidak mengurangi nilai-nilai yang bersifat spiritual.
Dari segi kaderisasi, memang terdapat kesullitan, karena bercerita sambil menabuh terbang itu sulit. Karenanya, dapat juga kentrung dimainkan lebih dari satu orang, sehingga memudahkan dalang berkonsentrasi dalam bercerita.
Dianjurkan agar masyarakat tidak menganggap bahwa kesenian kentrung suatu pertunjukan yang negatif tetapi harus membuka pandangan dan mau mempelajarinya agar kesenian milik masyarakat tersebut tidak punah. Perlu dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikannya.

KEPUSTAKAAN
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Pantun Kentrung. Jakarta: Yayasan Obor.
-------------------------- . 1997. Sunan Bonang Kembar Cerita Kentrung Tradisi Blora .Jawa Majalah Ilmiah Kebudayaan.Volume I
Hendriyo Widi . 2008. Nasib Seni Kentrung Blora Hidup Segan Mati Pun Tak Mau.2008. Dalam Kompas, 18 April 2010).
Poerwadarminta, W.J.S. 1937. Baoesastra Djawa. Groningen/Batavia: J.B. Wolters
Susilo Bayu Irawan. 2005. “Persepsi Masyarakat Desa Sendanggayam, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Terhadap Pertunjukan Seni Kentrung.” Skripsi. Semarang: UNES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar